Kami sedang menunggu buku ketujuh kami tentang "Mbah Mutamakin"

Minggu, 21 April 2013

Perjumpaan dengan Prabu Jayabaya

Ramalan Jayabaya Oleh: Argawi Kandito (syeh Pandrik) Ada perbedaan mendasar antara ramalan suku Maya kuno dengan ramalan Jayabaya. Terutama dalam hal meode ramalannya. Perihal hasil ramalannya boleh dikatakan serupa, yaitu membahas tentang keadaan kemasyarakan pada masa-masa tertentu. Jaman akan terus mengalami perubahan. Tiap-tiap perubahan itu mempunyai karakter sendiri, sehingga sifat kepemiminan yang melekat pada tiap-tiap jaman juga berbeda. Meskipun istilahnya berbeda, namun substansinya bisa dianggap serupa. Metode ramalan Suku Maya Kuno diperoleh melalui pengamatan perilaku alam, terutama yang data utamanya didapatkan dari catatan-catatan astrologi. Pada kondisi posisi bintang tertentu akan berdampak pada keadaan tertentu. Umumnya kepemimpinannya masyarakat juga bisa dibaca dari tanda-tanda alam tersebut. Selain dengan posisi bintang, arah angin, posisi matahari, dan perilaku lainnya juga menjadi perhitungan. Sedangkan pada ramalan Jayabaya bukan seperi itu. Jayabaya melakukan peramalan berdasarkan ilmu ilmu yang dipelajari, dari para sesepuhnya, maupun dari hasil pencariannya hingga ke negeri-negeri jauh. Dari banyaknya ilmu yang dipelajari itu, Jayabaya mempunyai ilmu yang dijadikan basis peramalan. Ilmu tersebut adalah ilmu yang ketika diaplikasikan bisa membuat Jayabaya itu menjadi dua wujud. Wujud yang satu berada di dimensi sekarang, sedang wujud kedua berada pada dimensi masa depan. Ada dimensi kedua ini Jayabaya lalu bisa melihat apa yang telah terjadi di masa depan. Karena ia sendiri telah mengalami. Dari apa yang dialami itulah yang kemudian dituturkan, dan oleh masyarakat itu disebut sebagai ramalan atau jangka. Ketika menjelaskan apa yang dipaparkan di atas, Jayabaya juga mengatakan bahwa dia pernah mengalami “mati” beberapa kali. Di setiap kematiannya itu dia berada di jaman yang berbeda-beda. Jaman-jaman ini mempunyai karakter yang berbeda, baik keadaan masyarakatnya, kepemimpinannya, kesejahteraannya, dan sebagainya. Jaman-jaman itulah yang digambarkan sebagai jaman kaliyuga, kalabendu, kalasuba, dan sebagainya. Kepemimpinannya juga disebut beragam, ada satria pinandita, satria piningit, satria nglembara, dan sebagainya. Apa yang dialaminya itu merupakan pengalaman spiritual tingkat tinggi, yang mungkin hanya akan dialami oleh para pendaki spiritualitas seperti seorang yang bernama Jayabaya tersebut. Ilmu yang menghasilkan pengalaman seperti diceriterakan itu disebutnya sebagai ilmu dimensi. Ilmu ini menurut pengakuan Jayabaya berasal dari orang-orang Yunani, yang didapatkannya ketika ia berkelana keliling dunia dalam masa-masa pencariannya. Tentang hal ini, sejarah memang tidak pernah mencatat tentang apa yang dialami oleh Jayabaya. Bahkan pada dasarnya jayabaya adalah seorang petualang juga tidak pernah tercatat. Padahal, sebelum orang lain belajar ke luar negeri, Jayabaya telah belajar ke luar negeri. Ketika orang lain ke luar negeri hanya untuk berdagang, Jayabaya melakukannya untuk belajar. Beberapa negeri pernah dikunjungi, seperti India, Iran, Irak, Yunani, Turki. Di India ia mempelajari pokok-pokok ajaran agama Hindhu. Mulai dari ritualnya hingga Ia mempelajari falsafah-falsafahnya. Dari apa yang dipelajarinya itu diramu ulang untuk disesuaikan dengan karakter masyarakat Jawa. Tentu saja beliau sangat memahami dengan baik tentang kesamaannya dan perbedaannya ilmu-ilmu yang didapatkannya itu dengan ajaran Jawa. Di India itu juga ia mempelajari Budha. Bahkan menurut pengakuannya, Ia belajar Budha di India hingga mendapatkan pencerahan. Perihal pencerahan yang dialami dialami itu dituturkannya dengan bentuk gambaran bahwa alam semesta ini ada di genggaman tangan yang satu sedangkan dimensi waktu ada di genggaman tangan yang lain. Dan ketika dia menyadari bahwa ada ruang dan waktu di genggamannya, ternyata waktu dan ruang itu menjadi hancur. Setelah hancurnya ruang dan waktu itu ia menemukan sosok orang yang tidak ia kenal. Dari sosok itu ia menjadi mengetahui ada beberapa sisi yang memenuhi dimensi pencerahannya. Sisinya berbeda-beda tetapi tetap pada satu. Setelah sadar dari situ, atau setelah kejadian itu, ia menjadi terinspirasi akan suatu konsep untuk membentuk tata kehidupan masyarakat. Setelah pulang dari pengembaraannya itu membawa konsep Bhineka Tunggal Ika. Konsep itu yang lalu diaplikasikan di pemerintahan ketika Jayabaya menjabat sebagai Maharaja. Konsep itu meskipun telah diimplementasikan elum diberi nama. Konsep itu baru terkenal bernama Bhineka Tunggal Ika setelah dituliskan pada kitab Negara Kertagama. Meskipun telah mengalami pencerahan, Jayabaya tetap melanjutkan pengelanaannya hingga ke Timur Tengah dan Yunani. Dalam rangkaian perjalanannya itu Jayabaya juga mempelajari berbagai kepercayaan yang ada di Timur Tengah dan Asia Kecil. Bahkan ia juga memelajari tentang bagaimana seseorang mengaplikasikan teknik sihir, tipu daya dengan berbagai alat. Tentang dunia mistik Arab juga dipelajari. Setelah pulang dari pengembaraannya itu, ia mengembangkannya dan mengajarkannya kepada masyarakat dalam kemasan ilmu kejawen. Bentuk-bentuk pengaruh dari budaya yang didapatkan dari perjalannanya itu nyata melekat dalam ajaran kejawen. Meskipun tidak banyak, namun keberadaan pengaruh itu mudah didapatkan. Sebagai contohnya adalah penggunaan tulisan Arab dalam bentuk rajah. Rajah yang dituliskan dengan dimensi geometris tertentu itu didapatkan dari gabungan keilmuan Arab, Yunani, dan juga Persia Kuno. Lalu dikemasnya dengan substansi Kejawen. Jadi, dari situ kita mulai tahu bahwa budaya rajah itu telah ada sebelum jaman Majapahit. Itu merupakan kebudayaan yang diserab dari Arab oleh jayabaya. Walaupun, agama Islam belum masuk secara massif ke negeri Jawa. Namun proses Arabisasi sudah terjadi, dengan pionernya Jayabaya. Yang dimulai dari penggunaan tulisan dan keilmuan mistik Arab oleh Jayabaya.